| Penerangan Agung Sang Buddha |
| Ditulis oleh Rahmat/ Erabaru-News | Minggu, 16 Agustus 2009 |
![]() Perjalanan PencerahanPangeran Siddhatta dikenal juga sebagai Buddha Gotama. Ia putra tunggal dari pasangan Raja Suddhodana dan Ratu Maya, yang berkuasa di kerajaan Sakya. Saat dalam kandungan sang ibu, ia terlihat dalam posisi duduk bermeditasi dengan muka menghadap ke depan. Tepat saat purnama sidi di bulan Vaisak tahun 623 SM, ia dilahirkan dalam keadaan bersih, tiada darah, ataupun noda yang melekat di tubuhnya. Sang bayi lalu berdiri tegak dan berjalan tujuh langkah di atas tujuh kuntum bunga teratai ke arah utara. Saat kelahiran empat Mahabrahma menerima sang bayi dengan jala emas, dari langit turun air dingin dan panas untuk memandikan bayi sehingga segar. Kelahiran Siddhatta membahana ke seluruh penjuru, dewa dari alam Tavatimsa memberitahu seorang pertapa bernama Asita (Kaladevala) saat bermeditasi di pegunungan Himalaya. Menurut Asita kelak sang pangeran akan meninggalkan kehidupan istana dan bertapa menjadi Buddha, apabila melihat empat peristiwa, yakni orang tua, orang sakit, orang mati, dan pertapa suci. Ia memberi hormat kepada sang bayi setelah melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (orang besar). Bahkan para Brahmana pun meramalkan bahwa sang bayi kelak akan menjadi seorang Cakkavati (raja dari semua raja) atau menjadi sang Buddha. Bayi tersebut diberi nama Siddhatta yang berarti "tercapailah segala cita-citanya." Baru sekitar tujuh hari dilahirkan, ibunya meninggal dunia. Semenjak ditinggal ibunya ia dirawat oleh Putri Pajapati (adik Ratu Maya) yang dinikahi ayahnya. Ia tumbuh dalam keluarga penuh kasih. Oleh karena itu sejak kanak-kanak ia dikenal sebagai seorang yang welas asih terhadap sesamanya. Di samping itu ia juga mempunyai kelebihan dan kecerdasan yang luar biasa. "Keganjilan" yang ditunjukkan Siddhatta sejak kecil telah terlihat misalnya sewaktu diadakan perayaan membajak. Saat perayaan sedang berlangsung, ia bermeditasi dengan duduk bersila dipayungi bayangan pohon jambu. Anehnya bayangan pohon jambu tidak mengikuti jalannya matahari, namun tetap menaunginya. Pada usia 16 tahun ia menikah dengan Yasodhara, anak pamannya yang bernama Raja Suppabuddha dari Devadaha. Kehidupan berkeluarga dijalaninya sebagai calon seorang Raja Sakya. Namun demikian ia tidak bahagia hidup terkekang dalam istana seperti seorang tawanan. Keinginan untuk mengetahui dunia luar sedemikian kuat, bahkan ayahnya pun tidak sanggup menghentikannya. Ramalan sang pertapa Asita terbukti. Ia melihat empat peristiwa yang membawanya pada pencarian jawaban untuk mengakhiri penderitaan, kesedihan, ketidakbahagiaan, usia tua dan kematian. Sebab itu ia meninggalkan istana mengawali perjalanannya mencari penerangan agung saat usia 29 tahun. Selama 6 tahun dia bertapa mencapai tingkatan Buddha pada usia 35 tahun. Buddha menghabiskan sisa ketidakkekalan tubuhnya selama lebih 45 tahun membabarkan dharmanya, ajaran luhurnya sebagai obat yang akan dapat membebaskan penderitaan manusia dari penderitaan dan mengantarnya ke pantai pembebasan. Suatu masa yang cukup panjang, sang Buddha membabarkan ajarannya hingga parinirvana-nya (wafat) di usia 80 tahun di Kusinara. |












